Minggu, 30 Maret 2014

Lima Wasiat Abubakar Ash-Shidiq Oleh : Eko Nurcahyo



Lima Wasiat Abubakar Ash-Shidiq
Oleh : Eko Nurcahyo

Assalamualaikum Wr.Wb
Sahabat Rasul SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, berkata, "Kegelapan itu ada lima dan pelitanya pun ada lima. Jika tidak waspada, lima kegelapan itu akan menyesatkan dan memerosokkan kita ke dalam panasnya api neraka. Tetapi, barangsiapa teguh memegang lima pelita itu maka ia akan selamat di dunia dan akhirat."
Kegelapan pertama adalah cinta dunia (hubb al-dunya).
Rasulullah bersabda, "Cinta dunia adalah biang segala kesalahan." (HR Baihaqi). Manusia yang berorientasi duniawi, ia akan melegalkan segala cara untuk meraih keinginannya. Untuk memeranginya, Abu Bakar memberikan pelita berupa takwa. Dengan takwa, manusia lebih terarah secara positif menuju jalan Allah, yakni jalan kebenaran.
Kedua, berbuat dosa.
Kegelapan ini akan tercerahkan oleh taubat nashuha (tobat yang sungguh-sungguh). Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya bila seorang hamba melakukan dosa satu kali, di dalam hatinya timbul satu titik noda. Apabila ia berhenti dari berbuat dosa dan memohon ampun serta bertobat, maka bersihlah hatinya. Jika ia kembali berbuat dosa, bertambah hitamlah titik nodanya itu sampai memenuhi hatinya." (HR Ahmad). Inilah al-roon (penutup hati) sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Muthaffifin (83) ayat 14.
Ketiga, kegelapan kubur
Kegelapan kubur akan benderang dengan adanya siraj (lampu penerang) berupa bacaan laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah. Sabda Nabi SAW, "Barangsiapa membaca dengan ikhlas kalimat laa ilaaha illallah, ia akan masuk surga." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulallah, apa wujud keikhlasannya?" Beliau menjawab, "Kalimat tersebut dapat mencegah dari segala sesuatu yang diharamkan Allah kepada kalian."
Keempat, alam akhirat
 Alam akhirat sangatlah gelap. Untuk meneranginya, manusia harus memperbanyak amal shaleh. QS Al-Bayyinah (98) ayat 7-8 menyebutkan, orang yang beramal shaleh adalah sebaik-baik makhluk, dan balasan bagi mereka adalah surga 'Adn. Mereka kekal di dalamnya.
Kelima, Shirat
Kegelapan kelima adalah shirath (jembatan penyeberangan di atas neraka) dan yaqin adalah penerangnya. Yaitu, meyakini dan membenarkan dengan sepenuh hati segala hal yang gaib, termasuk kehidupan setelah mati (eskatologis). Dengan keyakinan itu, kita akan lebih aktif mempersiapkan bekal sebanyak mungkin menuju alam abadi (akhirat).
Demikian lima wasiat Abu Bakar. Semoga kita termasuk pemegang kuat lima pelita itu, sehingga menyibak kegelapan dan mengantarkan kita ke kebahagiaan abadi di surga. Amin.
 Wassalamualaikum Wr.Wb


SIKAP KEDEWASAAN DALAM MENYIKAPI / PERBEDAAN



SIKAP KEDEWASAAN DALAM MENYIKAPI / PERBEDAAN
Oleh : Teman – teman HMI Bina Bangsa Banten
M

arilah kita semua bertaqwa dalam arti menumbuhkan rasa takut kita kepada Allah Swt, dalam segala tingkah, situasi dan kondisi apapun, juga dimanapun kita berada. Sebab dengan berbekal ketaqwaan, Allah akan senantiasa membimbing kita dan mencarikan kita solusi/jalan keluar bagi setiap problem dan kesulitan hidup yang kita hadapi. Allah juga akan menjadikan segala urusan yang rumit menjadi gampang, dan segala perkara yang sempit menjadi longgar.
Dan ketahuilah bahwa untuk memperoleh semuanya itu kuncinya adalah tetap berada pada diri kita sendiri. sebagai mahluk sosial kitapun menyadari bahwa bagaimanapun kita tidak pernah ada yang terbebas sama sekali dan tidak tersentuh oleh problematika kehidupan. Karena telah menjadi keniscayaan kita harus berhubungan dengan semua pihak yang tentunya syarat dengan perbedaan. Lalu harus bagaimanakah kita menyikapi perbedaan-perbedaan itu ?

“Persatuan dan tolong menolong” merupakan satu inti ajaran terpenting dari agama Islam yang suci, sedangkan “perselisihan, perpisahan dan bercerai berai” adalah sikap buruk yang dibenci agama. Allah Swt berfirman :

Artinya : “Tolong menolonglah kamu sekalian semua dalam hal kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong menolong atas pekerjaan dosa dan permusuhan”
Dalam kaitan ini pula, Rasulullah Saw bersabda :
Artinya : Dari sahabat Anas RA sesungguhnya nabi Muhammad Saw bersabda : “Janganlah kalian semua saling benci-membenci, menghasut, saling bertolak belakang, dan janganlah pula saling memutuskan (tali persaudaraan). Jadilah kalian semua hamba Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang Muslim menyateru / mendiamkan saudaranya hingga melebihi tiga hari”.
Waktu kita yang jumlahnya 24 jam dalam sehari semalam, hampir semuanya habis untuk kesibukan urusan kepentingan kita sendiri. Pada umumnya, kitapun tidak cukup punya waktu untuk mengurus persoalan-persoalan yang tidak secara langsung ada kaitannya dengan kepentingan diri kita sendiri. Sehingga ketika muncul masalah agama, entah karena terdorong oleh semangat dan kepedulian, kadangkala bahkan seringkali kita segera menanggapi persoalan tersebut dengan tanpa menyempatkan diri untuk sekedar menengok sejauh mana tuntutan agama mereka sendiri, mengenai bagaimana seharusnya ia menanggapi persoalan itu.
Terlebih lagi dalam menanggapi persoalan yang menyangkut agama, kalaupun ada “konsultasi” sebelumnya, paling hanya kepada akal pikiran kita sendiri dan emosi atau i’tiqad kelompok sendiri. hingga jarang sekali yang sampai kepada Allah Ta’ala, untuk dan demi siapa mereka hidup dan beragama.
Ambil saja contoh-contoh persoalan-persoalan yang menyangkut ukhuwah Islamiyah dan Mu’amalah bainan Nas; kalaupun merujuk kepada firman Allah Ta’ala atau rasul – Nya, biasanya terlebih dahulu kita kenakan “kaca mata hitam – putih” kita sendiri atau kelompok kita sendiri. Kita benci dahulu kepada teman kita. Lalu kita cari dalil-dalil yang bisa mengaitkannya dengan hal-hal yang tidak disukai oleh Allah ; dengan demikian akan mudah kita mengambil keputusan :”saudara kita itu salah”; karenanya perlu kita ganyang. Kita curiga dulu terhadap kelompok, setelah itu dengan mudahnya kita mencari Hujjah atau argumentasi untuk membabat setiap gagasan, ataubahkan sekedar pendapat dari kelompok tersebut.
Mereka menganggap cara ini jauh lebih mudah. Tidak banyak menyita waktu dan energi, ketimbang harus capek-capek mengatur strategi diri agar obyektif ; mengkaji masalah lebih jernih, utuh dan komperehensip / menyeluruh ; dan dengan lurus merujuk firman Allah dan atau sabda nabi dan rasull – Nya.
Tidakkah Allah menyuruh kita kaum Mu’minin untuk menegakkan kebenaran dan menjaga kesucian agama ?
Allah berfirman dalam ayat suci Al-Qur’an :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berperilaku tidak adil. Berlaku adillah karena pada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al – Maidah : 8)
Dan bukankah Allah sendiri, melalui lisan Rasulnya menyuruh kita kaum Mu’minin untuk menjauhi prasangka-prasangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan mengunjing sesama…?
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Hujaraat ayat 12 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakanmu dari berprasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu mengunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. 49 : 12)
Ataukah, lagi-lagi tetap dengan alasan tidak cukup waktu atau memang kita terlalu angkuh dan merasa tidak perlu untuk mendengarkan firman Allah tentang sikap dan perilaku yang harus kita ambil dan meski kita jalani? Na’udzubillahi Min Dzalik.

Lalu ketika setiap kali muncul tanggapan atas berbagai persoalan kemasyarakatan, masalah bangsa, atau bahkan agama yang kemudian nampak adalah budaya saling mendiskriditkan” saling “mengkambing hitamkan” atau mencari-cari pembenaran dan pembelaan atas “kepentingan” kelompok masing-masing. Maka siapakah yang paling bertanggung jawab untuk meluruskan semuanya itu?

Kita semua harus merasa punya tanggung jawab untuk itu. kalau dituntut skala proritasnya tentu yang paling punya tanggung jawab besar adalah mereka yang mengaku menjadi “pewaris para nabi / ulama atau para intelektual”, kemudian para pemimpin atau Umara’, para pengamat masalah agama, sosial, budaya, politik, dan ekonomi sampai akhirnya pada kitasemuanya juga.

Berbicara tentang khilaf, “perbedaan” atau katakanlah pertikaian dikalangan umat Islam – termasuk sebagian besar para tokoh pemimpinnya lagi-lagi kita masih melihat sikap yang belum cukup dewasa (dan entah harus menunggu sampai kapan) dalam menerima perbedaan. Dan sebagai pelerai kebingungan masyarakat yang diakibatkan oleh pertikaian dikalangan “Atas” atau “elit pemimpinnya” dimana mereka sendiri tidak dapat menjelaskannya, lalu merekapun berlindung dengan kalimat “Ikhtilafu al-immah rahmah” ; perbedaan pra imam / pemimpin itu suatu rahmah”. Itu benar, tetapi kita perlu khawatir, jangan-jangan dimaksudkan untuk satu tujuan yang bathil. “Kalimatul haqqin uriida bihal baathil” karena pada kenyataannya banyak diantara kita yang belum bisa menangkap rahmat Allah itu, bahkan sebaliknya, justru tidak sedikit yang malah mengambil kesempatan untuk pamer ketidak mampuan dalam berbeda, sehingga perbedaan apa saja yang mempunyai potensi kontrofersial pada akhirnya hanyalah merupakan “kendaraan” yang dengan mudah dapat dikendarai “sentimen” yang sudah subur karena terus dipupuk.

Oleh karenanya, para pemimpin dan orang-orang panutan kita harus mampu mengaplikasikan fatwa-fatwa yang terus mereka anjurkan seperti mawas diri, bersikap adil, pengendalian diri, menjaga persatuan, saling tolong-menolong dan seterusnya dan sebagainya, termasuk sikap dewasa dalam menerima perbedaan. Sebab ada ungkapan Arab yang menyatakan : “An-Naasu ‘Alaa diini Muluukihim”, manusia itu tergantung pada (moral) agama para pemimpinnya”. Kalau panutannya ngawur pengikutnyapun nabrak-nabrak juga. Kalau pemimpinnya kekanak-kanakan bagaimana bisa diharapkan orang yang dipimpinnya menjadi dewasa. Kalau memang benar, hal disebut terakhir terjadi, maka apakah yang bisa kita lakukan ? kira-kira hanya tinggal do’a : “Allahummahdina wa Iyyahum”. “Semoga Allah Ta’ala memeri petunjuk kepada kita dan mereka semuanya”.